Blognya Triunt

Kerabat KOTAK Solo

ceritaku

Warning : Please don’t repost this story in other website or blog without license from triunt
Namaku Tri Untoro, lahir tanggal 29 Juni 1988, itu yang saya tahu dari akta kelahiranku, nama ayahku Saino Budi Santoso, seorang buruh sopir sebuah perusahaan jamu terkenal di Kotaku Wonogiri, nama ibuku Kartini, namanya sama dengan nama pahlawan wanita yang aku tahu terlahir di Jepara, tanggal lahirnya 22 Desember, sama dengan peringatan Hari ibu di bumi pertiwi, aku terlahir dari 3 bersaudara dan akulah yang terakhir.

3 bulan sebelum lahir tertanggal 9 maret 1988, telah lahir pula seorang anak laki-laki, anak pasangan petani mereka lahirkan di urutan ke-6 dan yang terakhir dari saudara-saudaranya, terlahir dalam kondisi ekonomi yang kacau, sama dengan mayoritas ekonomi masyarakat di kampung kami, dia dianugreahi nama ibunya Mardiyanto, sama dengan nama seorang yang pernah memduduki kasta tertinggi di Propinsi kami.

Beberapa hari menjelang kelahiranku, juga telah lahir, anak laki-laki sehat, tanggal 10 Juni di tahun yang sama menjadi saksi dilahirkannya satu dari empat calon aktor persahabatan kami, namanya Tri Yadi, nama sumbangan dari pakliknya gara-gara orang tuanya bingung mau memberi nama siapa, orang tuanya juga merupakan pasangan petani miskin di kampung kami.

Dan beberapa hari kemudian setelah aku lahir, di kampung lain yang berjarak 1 kilometer dari kampung kami terlahir seorang anak putih nan tampan tertanda 3 Juli 1988, dia anak pertama, pasangan pegawai Rumah Sakit Umum di kotaku, dialah calon anggota persahabatan kami yang paling makmur, Namanya Muhammad Riyan Raditia, nama terpanjang dan terindah yang pernah saya dengar kala itu.

Mulanya kisah kami hanyalah tiga persahabatan, Aku, Antok, dan Pesek, itu panggilan kami waktu masih kecil dulu, Aku waktu itu sering dipanggil Trikun, sampai saat ini pun beberapa orang sering memanggil dengan nama itu, Antok merupakan panggilan dari Mardiyanto orang terpendek dari kami bertiga, sedangkan Pesek merupakan panggilan dari Tri Yadi, dia dipanggil seperti itu karena alasan yang klise, hidungnya pesek.

Saat aku masuk TK nol kecil, Anto dan Pesek belum ikut sekolah, sehingga pada saat pendaftaran di TK Dharma Wanita Bulusulur satu, aku menangis keras-keras di gendongan ibuku saat itu gara-gara gak punya temen sekolah, tapi ternyata aku tidak sendiri, tetangga baru yang angkuh itu ternyata juga ikut sekolah di TK itu, dia memakai tas baru warna biru yang bagus sekali, saat di sekolah dia mengeluarkan perlengkapan menggambar yang sangat lengkap, ada pensil warna, crayon, buku gambar bercover gambar robot warna warni, aku takjub sekali melihatnya, bukan itu saja peples air minumnya juga sangat bagus, berbentuk seperti telepon yang diatasnya terdapat semacam antena yang berfungsi sebagai lubang sedotan, tidak seperti peplesku yang hanya berbentuk tabung polos yang sudah tidak halus lagi, peples bekas kakak-kakakku dulu. Dia tak pernah diam teriak-teriak, meloncat di atas meja, menendang kursi, dia mirip sekali makhluk hiperaktif, ibunya sampai kerepotan menjewernya, dia adalah Riyan, Muhammad Riyan Raditia, anak pindahan dari kampung seberang.

Tapi biarpun Riyan Hiperaktif dan nyebelin dia merupakan sahabat yang sangat Loyal, kadang dia bagi-bagi mainan yang dia sudah bosan, sehingga mainan koleksiku juga cukup bertambah, barang-barang mainan yang diberikan Riyan sering kali sudah tidak utuh, mobil-mobilan yang rodanya tinggal satu, telepon-teleponan yang sudah hilang gagangnya, dan lain-lain, sehingga aku memiliki dua sisi persahabatan yang berbeda, kalau di sekolah aku bersahabat dengan Riyan, dan jika di Rumah aku bersahabatan dengan Antok dan Pesek, Letak rumah kami pun cenderung berdekatan, Rumah Riyan Berada di sebelah utara rumahku sekitar 20 meter, sedangkan Rumah Antok dan Pesek yang berjajar terletak di selatan rumahku, sehingga rumahku tepat di tengah-tengah diatara sisi Riyan dengan sisi Antok dan Pesek.

Kala itu Riyan tidak mengenal Antok dan Pesek, sedangkan Antok dan Pesek selalu menganggap Riyan tetangga baru yang angkuh dan Sombong, Riyan kadang bermain ke rumahku, rumah sederhana yang bersahaja, Riyan kalau bermain ke rumahku selalu membawa sepeda, aku suka sekali, karena aku bisa bermain sepeda sepuasnya, Antok dan Pesek juga sering ke rumahku, kalau mereka ke rumahku kita sering bermain petak umpet, sepak tekong, ataupun Gobaksodor, itu permainan khas anak-anak di kampungku, kamu mungkin mengenalnya, Jika mereka tiba-tiba datang ke Rumahku berbarengan maka Antok dan Pesek akan pulang, mereka tidak berani bermain bareng dengan makhluk angkuh itu, sedangkan jika Riyan datang disaat Antok dan Pesek ada dirumah, mereka akan segera sembunyi terus pulang lewat pintu belakang rumahku, seperti itu lah gambaran sehari-hari kita saat bermain.

Satu tahun kemudian Antok dan Pesek mulai sekolah, saat itu aku dan Riyan sudah naik kelas nol besar, masih di TK yang sama, Antok dan Pesek mulai berani berkenalan dengan Riyan, kadang mereka juga bermain bersama, bermain Tazos milik Riyan, mainan berbentuk lempeng bulat bonus makanan kecil mahal yang diantara kami berempat hanya Riyan yang mampu beli. Sifat Riyan mulai berubah, mereka menjadi sok bos terhadap kami, utamanya terhadap Antok dan Pesek, dia masih lebih halus dengan aku, sehingga dia menganggap aku sebagai asistennya, setiap berangkat sekolah kita harus tepat waktu untuk datang ke rumahnya terlebih dahulu, jika telat kita didenda, Riyan memberi wasiat kepadaku untuk memberikan rekening-rekening listrik koleksi bapaknya, sebagai barang bukti denda bagi mereka yang terlambat, dendanya berupa tidak boleh meminjam sepedanya selama sehari penuh, mengingat kami senang sekali bermain sepedanya kami pun menurutinya, sehingga masing-masing kami pun menjadi saling egois, diantara kami datang pagi-pagi ke rumah Riyan agar yang lain didenda dan dia pun bisa meminjam sepeda sepuasnya tanpa terganggu giliran meminjam sepeda.

Kalau pulang sekolah sehabis hujan biasanya jalan kampung kami yang belum beraspal digenangi air hujan yang berwarna kecoklatan, kekerasan riyan kepada kami juga ada disitu, kami dipaksa berjalan pelan-pelan melewati kubangan-kubangan itu, alasannya jika kita tidak melewatinya, maka nanti sore kita tidak boleh ikut nonton Ksatrian Baja Hitam di rumah pakdhenya, padahal kita sangat suka dengan serial Jepang itu, hingga disaat sampai di rumah orang tua kami marah-marah gara-gara sepatu kita yang baru saja dicuci kotor lagi oleh lumpur.

Itulah sekiranya catatan rutinitas kami di waktu TK, hingga akhirnya kita masuk SD bersama-sama, mengingat Antok dan Pesek tidak mengikuti TK nol besar.

Menginjak bangku SD, kami mendaftar di sebuah SD Inpres SD Negeri Wonoboyo empat, kita semakin kompak, Riyan sudah jarang melakukan kekeresan-kekerasan terselubung terhadap kami, hanya dominasinya saja yang memang masih melekat, selain mendominasi dia juga tumbuh menjadi murid yang cerdas, sepanjang SD dia tak pernah luput dari rangking tiga besar, Antok juga pintar, beberapa kali dia berhasil mencuri peringkat rangking tiga besar, Riyan dan Antoklah yang selama SD pernah tiga besar, cita-citaku yang ingin seperti mereka tak pernah tercapai, padahal aku ingin sekali mendapat kado buku tulis, pensil dan ciuman selamat dari guru kelas kami, aku juga ingin pulang berlari-lari kemudian kutemui ibuku dan kemudian berkata “Ibu aku rangking satu, atau dua atau tiga” sambil mengacung-acungkan buku kado dari bu guru, ibuku membalasnya dengan pelukan hangat sambil menciumku dan berkata “Selamat ya sayang, kamu memang anak pintar” sambil mengusap-usap kepalaku, tapi itu tak pernah terjadi sampai sekarang, yang ada adalah takut bertemu dengan mereka, gara-gara rangking 6, 8, 9, 10, 11, 13, 15, itulah angka-angka yang pernah memduduki raporku sepanjang SD, sedangkan Pesek biarpun rangkingnya tak pernah lebih baik dariku, toh orang tuanya tak terlalu peduli dengan nilai-nilainya, tidak seperti Orang tuaku yang sudah terbiasa dengan nilai-nilai kakak-kakakku yang sering juara kelas, hanya sekali saja saat caturwulan terakhir kelas 6 SD aku menduduki rangking ketiga, itupun sudah tak ada gunanya lagi, mengingat Bu Guru tak pernah memberi kado di caturwulan terakhir kelas enam, tetapi danemku lumayan bagus 42,75 untuk lima mata pelajaran, aku masih ingat danem Riyan yang 43,35, sedangkan Antok berhasil melampuinya di 43,70 yang membuatnya berada di posisi kedua danem tertinggi, sedangkan aku berdanem terbesar keempat, sekali lagi aku cukup kecewa, hanya danem tiga besar saja yang diumumkan dengan pengeras suara dan mendapat penghargaan saat pelepasan kelulusan kami, sedangkan pesek cukup bersyukur dengan NEMnya yang 39,5.

Kami lulus SD, sekarang waktu kami melanjutkan ke SLTP, seperti cita-citaku kudaftarkan Danemku dengan bangga di SLTP Negeri satu Wonogiri, Sekolah favoritku selama ini dan idaman semua anak di kota ini, Antok dan Riyan juga mendaftar disana, sedangkan Pesek cukup percaya diri untuk mendaftar di SLTP Negeri dua Wonogiri. Aku masih inget melihat bakal calon cinta pertamaku yang saat mendaftar diantar ibunya dengan Sedan mulus, ya SLTP Negeri Satu merupakan sekolah anak orang-orang kaya, begitu kata sebagian kalangan, tidak seperti Aku dan Antok yang saat ini diatar ibu-ibu kami, yang waktu pulang kami lebih memilih jalan kaki untuk sampai di terminal Minibus di Pasar Kota Wonogiri untuk menghemat ongkos, itupun aku seneng banget, bagiku kota Wonogiri adalah metropolitan yang hebat, aku senang sekali melihat gedung bertingkat berlantai tiga, gedung tertinggi di kota ini kala itu. Sedangkan Riyan, dia diatar bapaknya.

Di hari ketiga pendaftaran Aku, Antok, dan Riyan berkumpul di sudut sekolahan megah itu, bapakku, emaknya Antok dan Bapaknya Riyan juga sedang bercakap-cakap, fokus mereka adalah tentang aku, tentang nilaiku yang terlalu mepet dangan batas nilai penerimaan di menit-menit terakhir pendaftaran, batas nilai yang dikeluarkan sekolah adalah 42,70 sedangkan nilaiku 42,75, sebuah selisih yang tidak bisa dibilang jauh, Aku masih ingat kala itu Antok bilang kepadaku “Jika kamu tidak diterima di Sekolah ini, aku juga tidak, aku ikut kamu”, yang sampai saat ini aku masih selalu mengingatnya, akhirnya di detik-detik terakhir pengumuman pukul satu tidak ada yang yang mendaftar dengan nilai diatasku, dan akhirnya aku bisa bersyukur diterima si SLTPN 1 Wonogiri, dengan Riyan, dan Antok, sekolah kebanggaan kami hingga saat ini.

Dalam perjalanannya aku dan Riyan selalu satu kelas selama tiga tahun, mungkin karena kualitas otak kami yang mulai seimbang, sedangkan Antok selalu melejit mengisi ruang-ruang kosong kelas unggulan di sekolah kami, Aku mulai ikut aktif di organisasi sekolah, Aku gabung dengan PMR, Ekstrakulikuler paling bersih dengan seragam kaos putih-putih, membuatku yang berkulit gelap menjadi merasa tampan, Riyan aktif di PBB atau Persatuan Baris Berbaris, sedangkan Antok aktif di kiegiatan pramuka, biarpun berbeda-beda, ekstrakuler kami akan selalu bekerjasama di acara Persami atau perkemahan Sabtu Minggu.

Di PMR juga aku menemukan cinta pertamaku, wanita kelahiran Salatiga 29 Agustus 1988, dia adalah yang diantar ibunya dengan sedan waktu pendaftaran sekolah kemarin, cewek pintar anak kelas 1.E yang tak pernah lolos dari rangking tiga besar, Wanita putih berjilbab, berwajah mungil manis itu bernama Nisrin Nailul Muna, sampai kapanpun aku takkan pernah lupa dengan nama itu, aku kenal dia saat mengikuti Jumbara PMR Se Kabupaten Wonogiri, sebelumnya aku tak berani berkenalan dengannya, Aku masih ingat detik-detik perkenalanku waktu itu, saat dia menyuruhku untuk mengambilkan selimut garis-garis di tenda sebelah, aku tak akan pernah lupa dengan sinar bening mata itu, mata anak wanita kelas satu SMP yang membuatku merasakan jatuh cinta.

Ketika kami lulus SLTP, Aku dan Riyan melajutkan di sekolah yang sama SMA Negeri 2 Wonogiri, Antok mendaftarkan diri di SMK Negeri 2 Wonogiri, sekolahan baru yang baru dibuka satu tahun yang lalu, lokasinya tak jauh dengan SMP kita dulu, sedangkan Pesek memilih untuk tidak melanjutkan sekolah, dia lebih memilih menjadi kuli membangun beton jalan di sekitar kota, aku prihatin melihatnya, orang tuanya sudah tak peduli lagi dengan pendidikannya, aku dan Riyan tidak satu kelas, di sekolah kita sama sekali tidak kompak, kami memiliki teman sendiri-sendiri, namun itu jauh berbeda saat kita di rumah, kita cukup kompak untuk urusan menonton film, kadang kita berdua wira-wiri kota untuk mencari kaset film yang kita sukai, kadang sehari menonton empat film berturut-turut hingga badan kita pegel-pegel dibuatnya, kadang kita lupa mengembalikan kaset sampai berminggu-minggu hingga kita mesti patungan buat bayar denda, kadang-kadang kita nonkrong di suatu tempat, sahabat perang juga jika ada masalah, kita berkumpul kembali menjadi satu kelas saat kami masuk kelas tiga SMA, kelas 3 IPA 2, satu-satunya kelas tiga berlantai keramik di sekolah ini, Antok saat masuk kelas dua sekolahnya dipindah di gedung baru, lokasinya dekat dengan kampung kami, sehingga dia bisa jalan kaki untuk berangkat sekolah, gedungnya megah, lebih megah dari gedung SMA ku saat ini, Pesek mengikuti saran pakliknya untuk merantau di kalimantan, disana dia bekerja menjadi pelayan rumah makan milik pakliknya.

Di tahun-tahun kelulusan kami, kami benar-benar mulai terpisah, dimulai dengan aku yang melanjutkan kuliah di Solo, Riyan mengikuti pelatihan Militer di Jakarta, dia memang bercita-cita menjadi tentara, Anto siang hari berkerja di Kantor Desa kami sebagai tukang ketik, malamnya dia bekerja menunggu bunga hias di sebuah usaha pembibitan tanaman hias, sehingga dia jarang tidur, aku salut dengan perjuangannya, Antok dan Riyan adalah inspirasiku, Antok dialah makhluk tergigih yang pernah aku kenal dalam hidupku, semangatnya adalah wanita temanku SMA yang dulu tak sengaja aku kenalkan padanya, aku hampir tak percaya menyadari perjuangannya, aku masih ingat waktu dia hanya tersenyum kalem saat bu Guru mengumumkan dia dapat rangking satu, saat dia diam saja sambil mengangkat tangan saat disuruh melewati kubangan air hujan, saat di berkata “Jika kamu tidak diterima di Sekolah ini, aku juga tidak, aku ikut kamu”, saat dia semalaman tidak bisa diam membicarakan si Wulan teman TK kami yang bertemu lagi dikala kami SMP, mungkin dia adalah cinta pertamanya, sampai saya bosen mendengarnya, aku masih ingat setiap hari setiap tengah malam dia mensetarter motor yamaha 75nya yang suaranya bising minta ampun untuk berangkat menjaga bunga hingga pulang subuh, itu semua bukan perjuangan yang mudah ditulis, itu merupakan perjuangan ekstra keras dimataku sebagai sahabatnya, dari Antok aku belajar tentang ketelatenan dan kesabaran, bahwa sebuah kesuksesan tidak didapat dengan mudah.

Sedangkan Riyan, dia adalah makhluk tertangguh di mataku, perjuangannya Memasuki Akmil bukan merupakan perkara mudah, arti sebuah kehidupan Militer dengan pembanding kehidupan sipil memang selisih jauh, bakatnya di militer memang sudah muncul sejak masa kecilnya, aku masih ingat saat dia ke rumahku dan kami bertiga (Aku, Antok, dan Pesek) sembunyi dibawah kolong kamar tidur karena takut didenda, saat dia menunjuk-nunjuk ke arah kami untuk masuk ke kubangan, saat dia menantang kami melewati jalur goa got bawah tanah di sekitar kampung kami yang banyak ularnya, di mataku dia adalah orang paling berani menghadapi apapun, jika tidak setuju pada suatu keputusan dia adalah orang pertama yang berani berkata tidak, dia rela menghancurkan tampang kerennya dengan memotong rambut sependek Taruna Akmil, menghitamkan kulit putihnya yang dulu membuat aku takjub, sebuah pengorbanan besar demi sebuah cita-cita.

Di tahun kedua masa kuliahku, aku masuk semester empat, Riyan telah berhasil masuk Taruna Akademi Angkatan laut Surabaya, beberapa kali dia mengirim kabar tentang kenaikan pangkatnya, Antok mengundurkan diri dari tukang mengetik dan penjaga bunga, sebuah panggilan pekerjaan asal Karawang menjemputnya, PT.Chemco itu nama perusahaannya, waktu akan berangkat dia sempatkan diri ke rumah Ambar berpamitan dengan wanita pujaannya temanku SMA dulu, dari telepon aku dengar dia sangat bahagia saat berpamitan dengannya, aku ikut senang mendengarnya.

Hari ini hari –hari terakhir puasa tahun 2008, kami bertemu kembali tepat di malam takbiran, Pesek juga pulang dari kalimantan, kita kembali reuni, berkisah kembali tentang cerita kita dulu, kadang kita saling tertawa saat Antok protes dan bertekad menyidang Riyan melakukan kekerasan di masa kecil kita, dan Riyan hanya senyam senyum serba salah, Bogem-bogem keakraban kita tujukan ke arah Riyan hingga dia teriak-teriak sambil melolong-lolong, kadang kita saling sindir-satu sama lain, kadang kita juga bertakbir bersama-sama, sambil menyaksikan adik-adik kampung kita, mungkin suatu saat nanti mereka akan mengikuti jejak kisah kita, malam ini kita bahagia banget, hingga akhirnya aku sempatkan untuk menuliskannya kembali untuk membagi kisah kami, kepada kalian, untuk menjadi inspirasi bagiku dan untuk kalian semua.

Kini aku telah memasuki semester kelima, dimana waktu membawaku untuk memilih, kerja atau melanjutkan sekolah, aku tidak berani mengutarakan niatku untuk melanjutkan kuliahku, tapi saat ini aku selalu berusaha, mencoba tertatih mencari biaya untukku sendiri, biaya kuliahku ke Jogja, aku merasa belum pantas bekerja di gelarku yang baru (akan) Ahli Madya, paling tidak aku ingin menjadi sarjana seperti kebanyakan orang, saat ini ku usahakan untuk lulus lebih cepat, lulus di semester ke lima.

Cita-citaku masih terlalu jauh dari sini, tetapi aku akan terus mengejarnya, mencoba mendaki tangga demi tangga kehidupan, hingga suatu saat nanti jika masih ada takdir bagi kami untuk kembali berkumpul, aku ingin kita saling bicara diantara hati kami tentang mimpi-mimpi kita yang tercapai, yang berubah arah, dan yang bertukaran, hanya takdir dan waktu yang akan membuktikannya, kita akan saling memperkenalkan istri-istri kami, membentuk keluarga besar yang tak akan lekang ditelan jaman, menggendong dan memapah anak-anak kita yang menangis meronta-ronta karena ingin sekolah, seperti kami dulu, hingga tak henti-hentinya kita berbangga dengan keluarga diantara kami, kebanggaan dari sebuah persahabatan sejati, persahabatan yang tak akan pernah mengenal kata punah, persahabatan yang sangat kami banggakan, Persahabatan Kami.

7 Oktober 2008

10 responses to “ceritaku

  1. tiyoe Maret 19, 2009 pukul 1:50 pm

    Maaf, baru aja dipindah dari blog lama, bagi yg mw coment langsung di blog ini aja.

  2. Jeng Ida Mei 5, 2009 pukul 5:39 am

    Siapapun kamu, yg nulis tulisan ini
    ternyata dalem banget
    serasa inget masa kecil dulu
    salut deh.

  3. John Deru Juni 5, 2009 pukul 4:30 am

    Wah, aku juga jadi keingetan cerita masa kecil. kamu beruntung bisa sekolah TK, kalo aku langsung SD karena gak ada TK di tempatkan (Ngadirojo Lor, Kec. Ngadirojo), setelah pulang sekolah aku harus mencari rumput untuk kambing dan sapi, menjelang maghrib kami bareng-bareng mandi di kali, setelah itu rombongan jalan kaki sejauh 1 km hanya untuk menonton TV Flash Gordon (karena yang punya TV rumahnya agak jauh)..

    Keep on our spirit !!! Hari esok pasti lebih baik kalo kita selalu berusaha dan berdoa tanpa kenal menyerah !!

  4. nanninund September 24, 2009 pukul 3:00 pm

    ahkk . auto biografi yia ?? hhe

    he, tau aja 😀

  5. ivan pramoedya wardhana April 20, 2010 pukul 8:25 pm

    cerita masa kecil yang indah 🙂

  6. PatKai Mei 10, 2010 pukul 7:52 am

    Ihirrr….
    Ternyata oh ternyata….
    Ilul cinta pertama mu To….

  7. Putri Mei 13, 2011 pukul 3:09 am

    Hehe.. Kenangan masa kecil y..
    Hm.. Mo iktn crita nih..
    Klo aku tmn d rmh, tmn TK, tmn SD, tmn SMP, Tmn SMA, tmn Kuliyh gk prnh sm.. gnti trus, krn kt msuk skolah yg beda.. Tp smpe skrg pershbtn kt ttp trjlin walaupn hanya skdr sapaan lwt hp..
    Dan saat ini, kt bkln nylesain pnddkn kt..
    Moga aj bisa ktmu lg sm tmn2 yg mengsis sjrh hdup ku..;)

  8. gunawan Oktober 24, 2011 pukul 3:46 pm

    Terus klo boleh tau sekarang kuliah dimana mas bro..? N tmn2 seperjuangan yg lain jg gmn akhirnya..?

  9. Dyah Sujiati Mei 3, 2013 pukul 6:29 am

    Aduh sampai gondrong ni baca ceritanya! Hehee
    Good 😀

Tinggalkan komentar